Makassar — kebohongan dilakukan oleh Kanit Tahban Polrestabes Makassar, Muhammad Rivai, saat menghadiri mediasi yang dipimpin langsung oleh Kapolrestabes Makassar pada Jumat (7/11/2025). Dalam forum tersebut, Rivai dikabarkan menyampaikan bahwa putusan perdata terkait perkara tanah antara Ishak Hamzah dan Hj. Wafia Syahrir telah dimenangkan oleh pihak Wafia.
Namun, pernyataan tersebut langsung dibantah oleh Ishak Hamzah selaku ahli waris, dan Mahmud, Ketua LSM Perak. Keduanya menegaskan bahwa putusan perdata dimaksud berstatus Dalam eksepsi menolak tergugat dan turut tergugat BPN untuk seluruhya Dan penggugat menolak seluruhnya Dalam pokok perkara, bukan dimenangkan oleh pihak lawan.
> “Saudara Rivai telah memberikan informasi yang keliru di hadapan Kapolrestabes. Putusan NO bukanlah kemenangan bagi pihak mana pun,” ujar Mahmud di lobi Polrestabes Makassar, didampingi Ishak Hamzah dan sejumlah awak media.
Pertemuan di ruang Kapolrestabes tersebut merupakan undangan resmi untuk membahas persoalan hukum yang telah menjerat Ishak Hamzah sejak tahun 2012. Dalam kesempatan itu, Ishak menyampaikan bahwa kasus yang ia laporkan sejak lama terkait dugaan penipuan, penggelapan, dan pemalsuan dokumen oleh H. Abd. Rahmat alias H. Beddu, hingga kini belum mendapatkan kejelasan hukum yang adil.
> “Saya melapor sejak 2012, tapi laporan itu dianggap kadaluarsa. Sementara saya sendiri pernah ditahan selama 58 hari atas laporan pihak yang justru diduga melakukan pemalsuan dokumen,” ungkap Ishak.
Kuasa hukum Ishak Hamzah, Salim Agung S,H.
Kemenangan pra-peradilan yang diperoleh Ishak Hamzah disebut menjadi titik terang dari dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh oknum penyidik Polrestabes Makassar dan Polda Sulsel yang telah berlangsung sejak lama.
Menurut Ishak, permasalahan ini bermula dari laporan Hj. Wafia Syahrir pada tahun 2021 yang menuduhnya melakukan penyerobotan tanah. Namun, Ishak menilai penyidik tidak cermat dalam memeriksa asal-usul sertifikat hak milik (SHM) milik pelapor.
> “Sebelum memeriksa dokumen warisan saya, penyidik seharusnya meneliti dulu SHM Hj. Wafia yang katanya tanah eks verponding. Padahal berdasarkan data Ipeda dan Bapenda, tanah itu berstatus CI dan merupakan warisan keluarga saya,” jelas Ishak.
Lebih lanjut, Ishak menuding penyidik memaksakan penerapan Pasal 167 KUHP dan Pasal 263 ayat (2) KUHP. Dalam gelar perkara di Wasidik Polda Sulsel tahun 2022, seorang peserta gelar, Kompol Agus Khaerul (kini AKBP), menemukan adanya perbedaan Persil 21 dan Persil 31 dalam dokumen tanah milik Ishak — yang ternyata hanya merupakan kesalahan pengetikan dari pengadilan agama, bukan pemalsuan.
Meski fakta tersebut sudah jelas, penyidik disebut tetap melanjutkan perkara tanpa mempertimbangkan bukti pembelaan. Bahkan, Ishak menduga ada rekayasa barang bukti pada tahun 2025, ketika penyidik diduga memindahkan dokumen untuk tetap menjerat dirinya dengan pasal pemalsuan.
> “Barang bukti yang digunakan hanya hasil scan, tapi tetap dijadikan dasar hukum untuk menjerat saya,” tambahnya.
Sejumlah pengamat hukum menilai kasus ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal di tubuh Polri, khususnya dalam penanganan perkara pertanahan. Bila dugaan manipulasi dan penyalahgunaan wewenang ini terbukti, maka hal itu bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga merusak citra kepolisian di mata publik.
(SURNIYANTI)








