Makassar – Putusan praperadilan yang diajukan oleh Ishak Hamzah, warga Makassar yang mengaku menjadi korban kriminalisasi kasus tanah, membuka kembali tabir gelap dugaan keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam praktik mafia tanah di Sulawesi Selatan.
Dalam keterangannya, Ishak menyebut bahwa perkara yang menimpanya telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, sejak tahun 2012 hingga 2025, dan melibatkan sejumlah nama yang disebut-sebut berasal dari jajaran Polrestabes Makassar dan Polda Sulsel.
Menurut Ishak, dirinya menjadi korban kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh sekelompok oknum kepolisian yang berkolaborasi dengan pihak-pihak sipil dalam sengketa lahan di kawasan Barombong, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar. Kasus tersebut bermula dari laporan seorang perempuan bernama Hj. Wafia Sahrier, yang menuduh dirinya menyerobot sebidang tanah yang diklaim sebagai milik pribadi Hj. Wafia.
Ishak Hamzah mengisahkan bahwa laporan terhadap dirinya pertama kali muncul pada tahun 2012. Ia kemudian kembali dilaporkan pada tahun 2021 oleh pihak yang sama dengan tuduhan serupa, yakni penyerobotan tanah berdasarkan Pasal 167 KUHP.
“Saya dituduh menyerobot tanah milik Hj. Wafia Sahrier. Padahal saya sudah jelaskan kepada penyidik sejak awal bahwa tanah tersebut merupakan bagian dari lahan warisan keluarga saya,” ujar Ishak saat ditemui beberapa awak media di kediamannya, Jumat (7/11/2025).
Ishak menambahkan, dalam proses penyelidikan awal, ia telah meminta penyidik untuk lebih dahulu memverifikasi keabsahan dokumen kepemilikan tanah milik pelapor sebelum memeriksa dokumen miliknya. Ia menilai penyidik terlalu cepat mengambil kesimpulan dan justru mengabaikan prosedur penyelidikan yang semestinya dilakukan secara objektif.
“Saya sampaikan kepada penyidik, tolong periksa dulu asal-usul sertifikat milik Hj. Wafia Sahrier. Karena menurut saya, SHM (Sertifikat Hak Milik) yang dipegang pelapor berasal dari tanah eks verponding, yang status hukumnya berbeda dengan tanah keluarga kami,” ungkapnya.
Menurut penuturan Ishak, inti persoalan terletak pada status tanah yang disebut-sebut berasal dari lahan eks verponding, yakni tanah yang pada masa kolonial Belanda memiliki status administrasi tersendiri dan tidak otomatis berubah menjadi hak milik setelah kemerdekaan.
Ia menilai, penyidik seharusnya mengumpulkan bukti terlebih dahulu untuk memastikan apakah benar objek tanah yang diklaim oleh Hj. Wafia memang berada di atas lahan eks verponding sebagaimana tercantum dalam SHM miliknya.
“Kalau penyidik benar-benar bekerja sesuai aturan, tentu mereka akan menelusuri dulu sejarah administrasi tanah tersebut. Apakah benar lahan itu eks verponding atau tidak,” jelas Ishak.
Namun, hal itu tidak dilakukan. Sebaliknya, penyidik diduga langsung menetapkan laporan Hj. Wafia sebagai dasar penyidikan tanpa pembuktian mendalam. “Dari awal, kami sudah melihat ada kejanggalan. Penyidik, Kanit, hingga Kasatreskrim Polrestabes Makassar tidak lagi menjunjung asas penegakan hukum yang berintegritas,” ungkapnya.
Ishak menuding bahwa penyidik menggunakan buku F dari kelurahan sebagai alat bukti utama dalam menetapkan dirinya sebagai tersangka. Buku F tersebut, menurutnya, merupakan salinan dokumen yang tidak memiliki kekuatan hukum kuat dan bahkan keasliannya tidak dapat dijamin.
“Bagaimana mungkin penyidik menjadikan salinan buku F sebagai alat bukti final? Tidak ada satu pun pejabat kelurahan yang bisa menjamin keaslian dokumen itu,” ucap lelaki berambut putih itu.
Lebih jauh, Ishak menilai penyidik telah memanipulasi tafsir pasal 167 KUHP tentang penyerobotan tanah dengan menjadikan penguasaan fisik atas lahan yang ia tempati selama puluhan tahun sebagai bukti pelanggaran hukum.
“Padahal jelas, saya menempati lahan warisan keluarga saya sendiri. Itu bukan penyerobotan. Justru penyidik seolah menutup mata terhadap fakta bahwa SHM milik pelapor tidak berdiri di atas lahan yang sama dengan objek tanah kami,” katanya menegaskan.
Ishak mengklaim bahwa berdasarkan data administrasi dari Kantor Bapenda dan Kantor Ipeda Kota Makassar, lahan yang diklaim oleh Hj. Wafia tidak termasuk dalam wilayah tanah eks verponding, melainkan tanah dengan status CI yang telah lama menjadi hak waris keluarga Ishak Hamzah.
“Faktanya di data pemerintah daerah, di lokasi yang disebut Hj. Wafia itu tidak ada tanah eks verponding. Yang ada adalah tanah CI, dan itu sudah sesuai dengan dokumen tanah warisan kami,” kata Ishak sambil menunjukkan berkas administrasi yang dimilikinya.
Namun, meski telah berulang kali menunjukkan bukti-bukti tersebut, penyidik dinilai tetap bersikeras melanjutkan perkara dan lebih berpihak pada pelapor.
Tidak berhenti di sana, Ishak kembali dijerat dengan pasal 263 ayat (2) KUHP tentang pemalsuan dokumen. Ia disebut telah memalsukan data kepemilikan tanah berdasarkan perbedaan nomor persil dalam dokumen warisan keluarganya.
Kasus tersebut sempat digelar dalam rapat gelar perkara di Direktorat Wasidik Polda Sulsel tahun 2022, yang dihadiri oleh sejumlah perwira, termasuk Kompol Agus Khaerul (kini berpangkat AKBP). Dalam gelar perkara itu, disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara Persil 21 yang tercantum dalam penetapan waris dari Pengadilan Agama dengan Persil 31 yang terdapat dalam warkah tanah milik keluarga Ishak.
Namun, menurut Ishak, perbedaan itu bukan bentuk pemalsuan, melainkan kesalahan administrasi pengetikan yang terjadi di pengadilan agama.
“Persil yang benar adalah Persil 31, sebagaimana tercantum di warkah tanah kami. Kalau dalam putusan waris tertulis Persil 21, itu kesalahan ketik dari pengadilan, bukan kesalahan kami,” tegas Ishak.
Ia menilai penyidik seharusnya memahami bahwa dalam hukum administrasi, kekeliruan pengetikan tidak serta merta dapat dijadikan dasar pidana pemalsuan dokumen.
Menurut Ishak, penjelasan dan bukti-bukti yang ia berikan kepada penyidik tidak pernah dihiraukan. Ia bahkan menilai penyidik sengaja mencari-cari alasan untuk memperkuat tuduhan terhadap dirinya.
“Semua sudah kami jelaskan secara detail. Tapi mereka seperti sudah punya target. Bukti kami diabaikan, malah kasusnya tetap dilanjutkan,” katanya.
Lebih parah lagi, ujar Ishak, ketika berkas perkara tidak cukup kuat untuk menjerat dirinya dengan pasal 263 ayat (2) pada tahun 2022, penyidik kembali mengubah barang bukti di tahun 2025 dengan dasar yang berbeda, yakni surat tanah Simana Buttayya atas nama kakeknya, Soeltan bin Soemang, yang menurutnya didapat dari hasil pemindaian (scan) dan tidak memiliki legalitas kuat.
“Bayangkan, setelah gagal menjerat saya dengan bukti pertama, mereka ubah lagi barang buktinya. Ini kan aneh. Logika hukumnya tidak masuk,” tegasnya.
Merasa diperlakukan tidak adil, Ishak Hamzah akhirnya mengajukan gugatan praperadilan terhadap penetapan status tersangka dirinya oleh penyidik Polrestabes Makassar. Ia menilai proses hukum yang dijalankan penuh kejanggalan dan tidak memenuhi asas due process of law.
Dalam persidangan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, hakim disebut menemukan sejumlah kejanggalan dalam prosedur penyidikan dan penetapan tersangka, termasuk inkonsistensi barang bukti serta lemahnya pembuktian dokumen kepemilikan tanah yang menjadi dasar laporan.
Putusan praperadilan tersebut akhirnya membatalkan penetapan tersangka terhadap Ishak Hamzah, sekaligus membuka ruang publik untuk kembali mempertanyakan integritas penyidik dalam menangani kasus-kasus pertanahan di Makassar.
Ishak menilai apa yang dialaminya bukan sekadar masalah pribadi, tetapi indikasi lemahnya pengawasan internal di tubuh kepolisian, khususnya dalam menangani perkara pertanahan yang rawan kepentingan ekonomi dan politik.
“Kalau institusi seperti Polrestabes Makassar atau Polda Sulsel tidak melakukan pembenahan, maka citra kepolisian akan terus tercoreng oleh ulah segelintir oknum,” ujarnya.
Ia juga berharap Propam Polda Sulsel dan Mabes Polri turun tangan mengusut dugaan penyimpangan yang terjadi selama proses penyidikan kasusnya. Menurutnya, kasus seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan hak atas tanahnya.
Lebih jauh, Ishak menilai bahwa reformasi hukum di tubuh kepolisian belum benar-benar berjalan. Ia menuding adanya “korporasi mafia tanah” yang melibatkan oknum aparat dan pihak-pihak tertentu untuk mengambil alih lahan warga dengan menggunakan instrumen hukum sebagai alat tekanan.
“Saya tidak hanya berjuang untuk diri saya, tapi untuk semua rakyat kecil yang menjadi korban ketidakadilan hukum. Ini bukan sekadar soal tanah, ini soal harga diri dan kebenaran,” pungkasnya.
Ia berharap agar pemerintah, terutama Kapolri dan Kapolda Sulsel yang baru, memberikan perhatian serius terhadap kasus-kasus serupa. “Jangan biarkan hukum dijadikan alat oleh mafia tanah. Sudah cukup rakyat menjadi korban,” tegasnya.
Kasus yang menimpa Ishak Hamzah menjadi potret buram dari persoalan klasik yang tak kunjung selesai, mafia tanah dan lemahnya integritas penegakan hukum di daerah.
Putusan praperadilan yang membatalkan status tersangka terhadapnya sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa hukum masih bisa berpihak kepada kebenaran meskipun jalannya berliku dan penuh tekanan.
Namun, bagi masyarakat, kasus ini juga menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan mafia tanah dan oknum aparat bukan hanya tentang sertifikat atau persil, tetapi tentang mengembalikan marwah hukum dan keadilan di negeri ini.
(SURNIYANTI)






